Invoice Fraud, GDPR dan belajar Self Driving


Keamanan berbanding terbalik dengan kenyamanan.  Begitu kalimat yang sering kita dengar. Antara setuju gak setuju, ya terkadang memang begitu adanya.

Fenomena GDPR (General Data Protection Regulation) sudah umum didengar semenjak kasus Facebook. Sudah banyak pula pakar yang membahas tentang hal ini. Teman-teman bisa googling terkait hal tersebut ya. Saya tidak membahas tentang GDPR lebih lanjut, karena nampaknya pengetahuan saya pun tak sebanyak itu. Saya hanya akan berbagi kisah tentang “bocornya data perusahaan” yang merugikan saya sebagai konsumen.

Hampir Ketipu 5 JUTA RUPIAH karena Data yang dicuri!

images from https://gdpr.report/news/2017/05/10/cifas-urges-better-fraud-education-rise-facility-takeovers/

Menginjak semester ke 3 (Februari-Juni 2018) kuliah di ibukota membuat saya yakin bahwa saya bisa benar-benar survive hidup di sini. Tapi setelah masuk bulan Maret, saya mulai merasakan yang namanya ibu kota kejam kesayangan ini!

Semester ini saya mengambil kuliah penuh, ditambah dengan saya mengambil Karya Akhir (penyebutan dari thesis/ penelitian sebagai syarat untuk lulus kuliah pascasarjana untuk program studi saya). Kuliah berjalan lancar meskipun tentunya membagi waktu ternyata tak semudah dan segampang yang kita omongkan dan canangkan.  Nilai turun sudah menjadi konsekuensi-lah, eits! Bukan itu pointnya! Kok saya malah curhat sih (^^)v. Di awal semester kemaren saya sudah seakan2 diuji sidang thesis #ups maksudnya saking deg-degan karena saya merasa mengalami/ terkena “penipuan”. Entah baiknya dinamakan penipuan atau tidak ya? Kalian bisa tanggapi setelah mendengarkan cerita saya ini..

Sebagai mahasiswa yang full mahasiswa alias tanpa sambil bekerja di suatu institusi, saya selalu merasa ingin membantu teman-teman kelas saya jika ada yang perlu dikoordinasikan. Semisal di semester 1 dan 2 lalu, saya jadi volunteer untuk mengkoordinir pembelian buku untuk masing-masing mata kuliah. Semester 3 sebagian dari kami memiliki peminatan yang berbeda sehingga pembelian buku-pun dikoordinir masing-masing kelas dengan peminatan tersebut. Hal yang berbeda di semester ini adalah kami akan segera membuat Jaket Angkatan. Untuk kelas kami, singkatnya setelah semua orang sibuk, saya pun mengajukan diri sebagai volunteer.

Pemilihan vendor, bahan, warna dan model anggap saja berjalan lancar. Kami mendiskusikannya via Whatsapp group. Voting ini itu dan intinya berjalan dengan semestinya. Kami memilih vendor yang sudah sering digunakan oleh salah satu perusahaan dari teman kami jika perusahaan mereka membuat seragam. Setelah ditelisik melalui websitenya, pun nampaknya memang vendor yang berkelas. Saya mulai email dan melakukan pemesanan, dilanjutkan komunikasi via telepon. Saya dimintai nomor telepon melalui email resmi perusahaan agar mudah dihubungi, katanya. Semua berjalan cepat dan aman, saat itu. Bendahara kami melakukan DP alias pembayaran awal untuk pemesanan jaket kami.

Keganjilan mulai datang saat masuk minggu ke-3 pemesanan. Jaket kami tak ada kabar, padahal jika sesuai janji, sebulan pun jaket sudah dikirim. Saya beberapa kali mengirimkan pesan melalui whatsapp, ada aja alasan rapat-lah, dinas keluar kota-lah dan sebagainya dari si penanggung jawab jaket kami di perusahaan tersebut. Kami-pun akhirnya mengetahui dari perusahaan tersebut bahwa tidak ada pemesanan atas nama saya. Kaget, bingung, cemas dan takut jadi satu. Kuliah padat, bimbingan progress penelitian sepekan sekali dan saat itu tambah satu lagi kesibukan saya, ngurusi si penipu ini.

Jakarta oh Jakarta, nampaknya kalau sudah kepepet orang akan berbuat segalanya ya!

Saya kesal sama diri sendiri karena gampang sekali tertipu. Saya mulai baca lagi email2 dengan perusahaan tersebut, dan ternyata email terakhir memang ganjil. Saat meminta nomor telepon saya, tidak ada signature customer survice seperti sebelum-sebelumnya. Saya mulai mengingat-ingat kembali percakapan pertama melalui telpon di mana ternyata saat itu saya memang lagi di jalan sepulang kuliah dan tetap bertanya dengan teman-teman terkait jaket tersebut sembari telepon. Saya mulai melihat beberapa obrolan chat dimana ternyata nomor rekening yang diberikan bukanlah nomor rekening atas nama perusahaan! Gilak dan saya langsung teruskan nomor rekening tersebut ke bendahara, bendahara juga langsung transfer DP-nya senilai 5juta. Bodoh! Saya menggerutu pada diri sendiri.

Self healing dan belajar menjadi Good Driver

 *Self Driving ini dibuka lho kelasnya oleh Prof Rhenald. Saya baru akan join. Bismillah ya..

Jujur saja, saya belum pernah membaca buku Prof Rhenald yang Self Driving, namun saya pernah membaca beberapa review tentang buku tersebut. Tentu esensinya berbeda dengan membaca langsung buku tersebut. Dan nampaknya mungkin kurang cocok juga dengan kasus saya sekarang, dan mungkin juga cocok dengan metode cocokologi yang saya gunakan. Hehe

Saya melakukan terapi diri dengan mencoba mengikhlaskan yang terjadi dan berencana mengganti uang kelas tersebut. Waktu menunggu jaket yang sudah sebulan tak jadi-jadi tentu tak bisa saya ganti. Saya sudah berdiskusi dengan sahabat-sahabat yang berada di kelas yang sama. Mereka kurang setuju jika saya melakukan ganti rugi, toh bukan kesalahan saya, katanya. Saya tentu menyalahkan diri sendiri yang kurang teliti dan kurang tegas saat mengurus jaket kelas. Saya terapi lagi diri saya dan mencoba mengendarai diri saya sendiri. Saya memutar otak, mengganti kata-kata negatif tentang si oknum dan mencoba kritis akan sesuatu.

Saya mencoba menumbuhkan prinsip-prinsip menjadi seorang driver yang saya baca dari review buku tersebut. Disiplin diri, Mengambil risiko, Plat to Win, The Power of Simplicity, Creative Thinking, Critical Thinking dan Growth Mindset. Kalau soal disiplin diri mungkin kurang tepat pada kasus saya saat itu, tapi saya mencoba menerapkan sasaran dalam kasus ini. Yaitu saya tidak boleh rugi secara materi dan segera menjadikan jaket itu JADI. Saya mengambil risiko dengan terus mendesak oknum untuk memberikan informasi tentang jaket saya. Singkat cerita, ia memberikan nomor “orangnya” yang katanya yang mengerjakan jaket kelas kami. Ternyata itu merupakan vendor jaket juga, namun dengan skala yang lebih kecil ketimbang perusahaan awal kami memesan, tentunya.

Saya tentu harus Play to Win donk. Saya punya sasaran untuk segera menjadikan jaket ini beneran jadi secara fisik dan tanpa kerugian materiil dari saya pribadi. Saya mulai optimis saat “orangnya” oknum tersebut ternyata bapak-bapak baik hati. Kami berkomunikasi via telepon, saya menjelaskan kronologis yang saya hadapi dan begitu pula bapaknya. Menurut bapaknya si oknum tidak berniat menipu, hanya saja mungkin kepepet atau gimana, karena sejujurnya bapaknya sudah membelikan bahan dengan uang yang diberikan namun tidak sejumlah 5juta, hanya 2juta saja, katanya. Baiklah, again saya percaya walau hanya melalui telepon. Saya sudah tak peduli dengan oknum asal jaket kami selamat.

Bapak tersebut ternyata belum menjahit jaket kami karena si oknum masih memiliki 3 orderan baju yang belum dibayarkan. Bapak vendor rumahan tersebut khawatir jikalau uang kami nanti dijadikan penutup untuk tanggungan-tanggungan sebelumnya, makanya bapaknya tidak pernah menjahit jaket kami selama satu bulan itu. Dia hanya membeli bahan saja, pertanda ia serius mau mengerjakannya.

The power of simplicity. Saya mencoba sesederhana mungkin agar saya tidak rugi dan bapak vendor rumahan ini juga tidak rugi karena sudah membeli bahan. Saya menghubungi oknum yang akhirnya memberikan saya dua pilihan (padahal sudah proses sebulan lho dari pemesanan), dia mau mengembalikan uang full 5 juta jika saya membatalkan pemesanan atau melanjutkan pemesanan dan satu minggu jaket jadi. Gilak! Emang iya satu pekan jaket bisa jadi dengan jumlah satu kelas kami? Kami (saya diskusi dengan sahabat-sahabat saya) memilih pilihan pertama, kembalikan uang kami. Dan karena tak ingin bapak vendor itu rugi karena bahan sudah dibeli, kami bekerjasama untuk tetap menjadikan jaket tersebut jadi dengan waktu yang ditentukan.

Masalah timbul lagi donk!!!! Gilak, oknum tersebut menghilang setelah memberikan informasi bahwa akan mengembalikan uang kami 5 juta tersebut. Bapak vendor juga tidak bisa menghubunginya. Gilak! Entah apa yang ia mau, saya mencoba Brainstroming (bagian dari Creative Thingking) bersama sahabat-sahabat saya memikirkan apa yang harus dilakukan. Akhirnya kamu memutuskan untuk ke Tangerang, ke rumah bapak bendor tersebut dan melihat bahan. Jika bahan bagus kami akan melanjutkan asalkan sudah terhitung bahwa 2 juta tersebut adalah uang kami sebagai DP membeli bahan. 3 juta yang lainnya yang dibawa oknum gimana? Perkara nantik! Ah bersyukur sekali ada sahabat-sahabat yang menemani saya ke Tangerang untuk melihat bahan dan menjelaskan kronologis secara langsung ke bapak vendor. Dan diakhiri dengan keputusan harga dari bapak vendor tersebut yang tentu saja lebih murah dari harga yang seharusnya kami bayar ke oknum. Jika ditotal seharusnya uang kami bahkan kembali sekian juta dari total yang seharusnya. Namun karena oknum kabur, saya berfikir untuk melakukan pembayaran sisanya menggunakan uang saya, toh gak sampai 5 juta yang awal dan gak sampai 3juta yang dibawa kabur itu sih.

Wait! Lagi-lagi beberapa sahabat saya dan teman-teman di kelas masih kurang setuju jika saya mmbayar sisanya, mereka bahkan tak berkeberatan jika menambah uang lagi atau minimal mengganti uang transport kami ke Tangerang. Kami tentu menolaknya, “uang transport tak perlu diganti, uang kekurangan pembayaran jaket-pun dipikirkan nanti saja saat jaket sudah jadi”. Begitu yang saya sampaikan. Padahal saya lagi memutar otak lagi kalau gitu si oknum tak boleh lepas.

Oh iya! Saat itu sekitar dua-tiga minggu setelah ketahuan bahwa pesanan kami tidak ada, si perusahaan tempat kami memesan jaket bersikukuh tidak mau bertanggung jawab. Ini perusahaan gede dan berkelas tapi gila sih managemennya. Bisa-bisanya data saya dicuri karyawannya. Saat saya menghubungi perusahaan tersebut untuk minimal bertanggungjawab, saya dilempar sampai ke 3 orang. Beh.  Minimal bantu memberikan solusi-lah jika tidak bisa ganti rugi 5juta, saya malah dimarahin donk saya bapak-bapak tersebut (atasannya si oknum) dengan nada keras melalui telepon! Katanya saya sekolah tinggi tapi kok bisa-bisanya transfer bukan ke rekening perusahaan dan percaya begitu saja. Gila dah. Sejujurnya saya sakit hati saat bapak itu menyatakan kalimat yang tak pantas itu. Saya mencoba sabar dan menahan kemarahan saya. Oke it’s enough kesalahan saya yang bodoh tidak teliti, tapi please mengkaitkannya dengan pendidikan yang saya tempuh saat ini dan sebetulnya tidak mudah, itu menyakitkan!

Saya menjelaskan kembali meskipun sedikit jengkel dan meminta bapaknya minimal memberikan data diri oknum yang ternyata sepekan setelah saya melakukan pemesanan ia telah resign. Ish, ini termasuk pencurian data pribadi gak? Secara nomor telepon saya diambil sama karyawannya lalu kami bertransaksi dan yah kasus ini-pun terjadi! Silahkan dinilai apakah itu pencurian data pribadi terkait GDPR atau enggak. hehe

Lanjut tentang mencoba self driving. Saya mencoba untuk berfikir kritis di keadaan serba ribet tersebut. Semester 3 akan berakhir, tugas semakin numpuk, tidak ada yang memikirkan jaket lagi, apalagi uang yang dibawa kabur sama si oknum. Saya yang masih memiliki rasa bersalah akan kebodohan  ketidak telitian yang saya lakukan, tentu memutar otak untuk tetap agar teman-teman tidak membayar uang kekurangannya. Saya dibantu salah seorang teman di kelas mencari titik lokasi terakhir nomor si oknum dan ternyata masih tetap di rumahnya. Saya mendapatkan informasi terakhir dari bapak vendor rumahan tersebut yang ternyata rumahnya dekat dengan si oknum sebetulnya, bahwa si oknum itu tinggal dengan mertuanya. Bingo! Saya telah mendapatkan data pribadi si oknum dari HRD perusahaan yang memiliki managemen buruk itu, plus nomor istrinya. Saya ingat tentang kasus Social Engineering (please googling it, biar temen-temen waspada) yang marak terjadi. Bukan! Bukan saya akan melakukan social engineering. Saya ingin mengambil part psikologis-nya saja. Saya menghubungi istri si oknum dengan memberikan penjelasan singkat bahwa sebetulnya tidak ingin istrinya terlibat dalam hal ini, namun karena suaminya tidak bisa dihubungi bahkan hampir sebulan, maka kami memutuskan akan melaporkannya ke pihak berwajib (ini tidak bohong lho, sahabat saya di kelas yang sama dengan saya sudah menghubungi sahabatnya yang bekerja di kantor pengacara terkait proses pelaporan, dan dikasih solusi untuk memberikan surat peringatan saja). Sedikit kebohongan yang saya lakukan adalah saya bilang bahwa pada hari senin (karena saat itu hari sabtu), surat itu akan sampai di rumah orang tua anda (alias mertua si oknum). Singkat cerita, si istri nampaknya khawatir jika suaminya dimarahin atau menyebabkan masalah di rumahnya, sehingga akhirnya saya dihubungi nomor yang tidak dikenal dan Bingo! itu adalah si OKNUM itu. Dengan berbagai alasannya dan tanpa meminta maaf sedikitpun, ia berjanji akan mengembalikan uang sisanya pada hari minggu setelah bertemu dengan bapak vendor rumahan tersebut (dalam kondisi dia tidak tahu bahwa kami tetap melanjutkan jaket tersebut).

Dan jeng jeng alhamdulillah, meskipun sekali lagi dia tidak meminta maaf sama sekali kepada saya dan menyerahkan begitu saja ke "orangnya" uang sisanya (jadi dia berdalih ke saya bahwa dia sudah memberikan semua uangnya ke "orangnya" alias ke bapak vendor, saya boleh ambil uang 3 juta dan bahan yang sudah dibeli di bapak vendor rumahan tersebut. Kurang ajar si emang si oknum ini -.-), saya bersyukur sekaliiiiiiiii. Serius lega banget. Dan 2 pekan berikutnya jaket selesai dengan hati super lega meskipun ada beberapa teman kecewa karena ukurannya atau jahitannya yang kurang rapi dibeberapa sudut. Tapi overall semuanya beres dan teman-teman satu kelas bahagia karena bahannya bagus dan bahkan kami memiliki uang sisa, karena mendapatkan harga yang jauh dibawah harga awal. Bendaharapun sibuk mengembalikan uang sisanya ke teman-teman. Hehe
Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdoa): "Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri ma'aflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir. - Terjemahan QS. Al Baqarah: 286

Alhamdulillah alhamdulillah, saya bisa mengakhiri semester 3 tanpa harus merasa bersalah dan mulai berlatih mengembangkan mindset menjadi seorang driver. Tentunya saya juga harus menyelesaikan Karya Akhir saya agar segera lulus. Doain lancar dan berkah dalam mengerjakan Karya Akhir saya ya teman-teman yang budiman :)

Point yang musti di highlight dari kisah saya adalah (1) please lindungi data diri, jangan kasih nomor telepon ke sembarang orang. Saya sudah terlanjur percaya melalui email, jadi saat ditelepon ya berasa itu benar. (2) Belajar dan berlatih self driving dah! Gak ada kata terlambat, saya juga baru mau belajar lagi setelah kasus itu. (3) Kalau kamu punya perusahaan tolong banget jaga data konsumen kamu, jaga data perusahaan kamu, kasih perjanjian ke karyawan yang akan resign. (4) Silahkan cari pointnya sendiri dan berikan melalui komentar dibawah ini ya :D

2 komentar:

  1. wah alhamdulillah akhirnya terselesaikan untuk pesanan jaketnya, jadi pengen baca buku pak Rhenald Kasali nih :)

    BalasHapus